Santri dan Demokrasi, Dinamika Keterlibatan Pesantren dalam Politik Pasca Reformasi

Pesantren, yang dikenal sebagai pusat pendidikan keagamaan tradisional di Indonesia, telah berperan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Namun, peran mereka dalam politik, terutama pasca Reformasi 1998, mulai menjadi sorotan.

Hari Santri Nasional, yang diperingati setiap 22 Oktober, memberikan momen reflektif tentang kontribusi santri dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi. Di tengah kekhawatiran tentang kemunduran demokrasi di Indonesia, peran santri dan pesantren justru semakin penting, tidak hanya dalam menjaga nilai-nilai agama, tetapi juga dalam merawat demokrasi yang sehat.

Pasca Reformasi, keterlibatan pesantren dalam politik menjadi fenomena yang lebih terbuka. Para santri yang dulunya fokus pada pendidikan agama saja kini turut terjun ke ranah sosial politik. Seiring perkembangan, banyak santri yang mengambil peran sebagai legislator, aktivis, hingga pemimpin daerah. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pesantren dan santri menjadi alat politik atau tetap sebagai agen penjaga demokrasi?

Penelitian Hadi (2023) menyebutkan bahwa meskipun pesantren semakin terlibat dalam politik, banyak dari mereka tetap memegang teguh prinsip keadilan dan pluralisme. Ini adalah dinamika yang menarik, karena pesantren sebagai institusi tradisional terus beradaptasi dengan tantangan modernisasi, termasuk di bidang politik.

Pesantren Epictoto memiliki potensi besar untuk memengaruhi arah politik Indonesia. Namun, apa yang terjadi ketika nilai-nilai demokrasi mulai diabaikan oleh pemimpin politik yang ada? Sejak beberapa waktu terakhir, Indonesia telah menghadapi isu kemunduran demokrasi. Beberapa kritik mencuat, menyoroti adanya upaya pembatasan kebebasan sipil, penggunaan kekuasaan yang eksesif, dan dominasi elit politik yang kian mempersempit ruang partisipasi publik.

Di sini, santri diharapkan dapat kembali menjadi penjaga demokrasi, tidak hanya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik yang sehat, tetapi juga untuk melawan segala bentuk tirani yang dapat merusak sendi-sendi kebangsaan.

Transformasi Politik Pesantren
Keterlibatan politik pesantren bukan hal baru, tetapi meningkat pesat setelah Reformasi 1998. Banyak pesantren yang mulai memfasilitasi diskusi politik dan memotivasi santrinya untuk lebih aktif dalam urusan publik.

Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan ulama dalam politik sudah ada sejak zaman penjajahan, ketika para kiai memimpin perlawanan terhadap kolonialisme. Namun, setelah Reformasi, banyak pesantren yang terlibat langsung dalam dinamika politik melalui dukungan calon tertentu dalam pilkada atau pemilu.

Meski demikian, keterlibatan politik ini bukan tanpa tantangan. Ada yang menganggap pesantren seharusnya tetap netral dan hanya berfokus pada pendidikan keagamaan. Beberapa pihak bahkan khawatir keterlibatan ini justru mengancam objektivitas pesantren dalam mendidik santri. Namun, di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk melibatkan diri dalam urusan politik, terutama ketika terjadi ketidakadilan atau kemunduran demokrasi.

“Liberty, when it begins to take root, is a plant of rapid growth.” — George Washington

(Kebebasan, ketika mulai berakar, adalah tanaman yang tumbuh dengan cepat).

Kalimat ini relevan dengan peran santri dalam mendorong partisipasi demokratis. Kebebasan politik yang diusahakan melalui pesantren berpotensi tumbuh cepat jika diberikan ruang yang cukup dalam masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami fenomena kemunduran demokrasi, yang terlihat dari pelemahan lembaga-lembaga demokratis, peningkatan otoritarianisme, dan pembatasan kebebasan sipil. Fenomena ini tidak terlepas dari kepemimpinan yang memusatkan kekuasaan pada segelintir elit politik dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Santri, dengan latar belakang moral dan pendidikan keagamaan, dapat memainkan peran penting dalam melawan tren ini.

Santri memiliki landasan nilai yang kuat untuk menegakkan keadilan, kebebasan, dan pluralisme. Dengan demikian, keterlibatan santri dalam politik tidak hanya bisa dilihat sebagai kontribusi normatif, tetapi juga sebagai gerakan yang berakar pada semangat reformasi. Mereka adalah kelompok yang berpotensi memperjuangkan hak-hak sipil dan kebebasan politik, yang saat ini terancam oleh kontrol kekuasaan yang lebih ketat. Bahkan, banyak santri yang terlibat dalam gerakan advokasi sosial dan politik, yang berusaha melindungi hak-hak minoritas serta memerangi korupsi.

Pesantren sebagai Agen Demokrasi atau Alat Politik?
Pertanyaan penting yang muncul adalah apakah pesantren tetap menjadi agen demokrasi yang sejati atau telah menjadi alat politik bagi elit tertentu?

Meski pesantren memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran, keterlibatan politik yang semakin intens sering kali memicu kekhawatiran tentang potensi kooptasi oleh aktor politik tertentu. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, pesantren dapat terjerumus menjadi alat mobilisasi politik yang hanya menguntungkan satu pihak.

Namun, Hadi (2023) dalam penelitiannya menegaskan bahwa masih banyak pesantren yang konsisten dalam mempertahankan independensi mereka. Mereka terus menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada santri dan berusaha menjadi penggerak perubahan sosial yang positif. Ini adalah bukti bahwa pesantren memiliki posisi strategis untuk menjaga keseimbangan antara peran keagamaan dan politik.

Santri adalah kelompok yang terus berkembang dengan adaptasi modernisasi dan dinamika politik Indonesia. Di tengah kondisi demokrasi yang mengkhawatirkan, santri bisa menjadi benteng terakhir untuk menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Tidak hanya sebagai pengingat akan pentingnya partisipasi politik, tetapi juga sebagai contoh nyata dari perlawanan terhadap segala bentuk otoritarianisme. Dengan tetap memegang teguh nilai-nilai keislaman yang inklusif dan moderat, santri mampu berkontribusi secara signifikan dalam melestarikan demokrasi di Indonesia.

Selamat Hari Santri.